Air dan Perubahan Iklim

Menilik Kaitan Korporasi Kelapa Sawit, Lahan Gambut, dan Kebakaran Hutan di Indonesia

Menilik Kaitan Korporasi Kelapa Sawit, Lahan Gambut, dan Kebakaran Hutan di Indonesia
oleh: Antonius Christian - Fathania Nazmi Lulu Alam - Fira Fatihalda - Susi Nurdinaningsih

“Saya miris sekali melihat keadaan waktu itu,” adalah kesan pertama saat Rusmadya Maharudin, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mendatangi langsung lokasi kebakaran hutan di Riau pada tahun 2015. Jalan tertutup kabut asap, ribuan tanaman hangus, binatang pun kering menyatu dengan batang pohon yang gosong terbakar, itulah kondisi yang dilihatnya.
 Beberapa minggu setelah kebakaran, Rusmadya dan tim kembali mengunjungi lokasi kebakaran untuk melakukan pengamatan lanjutan. Tetapi, bukan berita baik yang mereka dapat, melainkan kesedihan dan kemarahan karena mereka melihat tunas pohon sawit yang bersanding dengan batang pohon yang sebelumnya terbakar. Kejadian tersebut menjadi petunjuk baginya bahwa faktor kebakaran ini terjadi atas kesengajaan yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit.
            Kisah miris yang dialami oleh Rusmadya adalah contoh dari gambaran keadaan yang terjadi dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di salah satu hutan di Riau. Kebakaran hutan memiliki dampak yang besar bagi sekitarnya, seperti kesehatan, sosial, lingkungan bahkan emisi gas yang menyumbang perubahan iklim. Oleh sebab itu, permasalahan karhutla menjadi hal yang serius untuk ditangani bersama. Tidak hanya pemerintah saja, tapi juga bersama-sama dengan pihak NGO (non-governmental organization) dan industri yang bermain di dalamnya. Karena dari tahun ke tahun kebakaran ini selalu saja terjadi, seperti data yang ditampilkan sebagai berikut.

Dapat diakses di: bit.ly/statistikdatakarhutla

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), total karhutla pada tahun 2013 yaitu 4918.74 Ha dengan provinsi pertama Jawa Timur dengan luas 1.352,14 Ha dan disusul dengan Riau 1.077,50. Pada tahun 2014 total luas karhutla sebesar 44.411,36 Ha dengan posisi pertama Sumatera Selatan 8.504,86 Ha dan disusul dengan Riau sebesar 6.301,10 Ha. Kemudian total karhutla pada tahun 2015 telah menghabiskan hutan dan lahan di Indonesia sebesar 261.060,44 Ha. Provinsi Kalimantan Tengah menyumbang lahan terbakar 122.882,90 Ha. Lalu, total karhutla pada 2016 menghabiskan sebesar 14.604,84 Ha dengan posisi daerah Kalimantan Barat sebesar 1.859,05 Ha. Pada 2017 total karhutla sebesar 11.127,49 dan yang terakhir pada 2018 yang diakses pada November 2018 yaitu besarannya sejumlah 4.666,39 Ha.
Rusmadya menambahkan, bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah lahan gambut yang terbakar. Lahan gambut sendiri adalah tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik lebih besar dari 65% (enam puluh lima persen) secara alami dari lapukan vegetasi yang tumbuh diatasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah.
Gambut merupakan lahan basah yang mengandung ribuan kubik air serta akar serabut yang sangat banyak, sehingga lahan gambut tidak dapat dengan mudah ditanami untuk lahan perkebunan. Proses yang dilalui panjang apabila dilakukan sesuai prosedur untuk mengeringkan lahan gambut hingga akhirnya dapat ditanami tanaman kebun seperti kelapa sawit dan akasia. Sehingga banyak perusahaan yang memilih jalan pintas dengan cara membakar. Lahan gambut sendiri memiliki kedalaman yang rawan terbakar yaitu sebesar 4 meter hingga 20 meter. Dampak yang dihasilkan dari membakar lahan gambut juga berpengaruh signifikan dalam memicu kebakaran hutan di titik lain atau sekitar lahan yang dibakar guna kebutuhan sawit dan akasia. mengingat bentuk lahan gambut yang memiliki akar yang sangat banyak dan relatif dalam. Hal ini seringkali membuat api dari lahan gambut yang sudah dipadamkan terlihat tidak panas (titik api tidak terlihat), padahal di bawah permukaan lahan gambut masih terdapat bara api yang menyala dan seringkali tidak terlihat. Kondisi seperti ini berpotensi menyebarkan api lebih luas lagi melalui akar akar panas yang terhubung dengan lahan lain di sekelilingnya yang tidak terbakar sebelumnya. Hal ini dikarenakan cara ini selain dianggap mudah, juga ekonomis guna menekan modal yang dikeluarkan. Namun ketika lahan gambut dipicu untuk dikeringkan menjadi lahan perkebunan, ia sangat sulit untuk dipadamkan. Pemicu lainnya yang menjadi penyebab kebakaran hutan adalah perubahan musim kemarau yaitu terjadinya fenomena El-Nino yang mengakibatkan kekeringan. Dalam data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), sebelumnya fenomena ini pernah terjadi pada 1997 dan pengaruh El-Nino membuat berkurangnya cuaca hujan di beberapa wilayah Indonesia. Faktor ini kemudian menjadi faktor pendukung lahan gambut menjadi sangat kering sehingga lebih mudah untuk terbakar.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK melalui Kajian Sistem Tata Kelola Komoditas Kelapa Sawit 2016 membuktikan bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan penyumbang terbesar penyusutan luas hutan, disusul dengan jumlah perkebunan akasia yang juga menguasai hutan di Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Data BNPB pun juga menunjukkan sebagian besar kebakaran hutan terjadi karena pembakaran lahan gambut untuk membuka lahan kelapa sawit oleh perusahaan industri perkebunan kelapa sawit. Memang dalam pemanfaatannya, berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 tahun 2009 mengenai Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit, perusahaan bisa menggunakan kawasan budidaya, namun harus berasal dari kawasan hutan yang telah dilepas dan/atau areal penggunaan lain (APL). Akan tetapi dalam data KPK, total jumlah tutupan lahan sawit di kawasan hutan mencapai jumlah yang tinggi yaitu sebesar 3.443.508 Ha. Dengan Provinsi Riau berada di urutan teratas dengan luas 1.219.410 Ha. Walaupun kelapa sawit menjadi komoditas ekspor ketiga terbesar yaitu sekitar USD 18,1 milyar (BPS, 2015), tetapi kasus karhutla ini menimbulkan kerugian sebesar USD 295 juta. Karhutla yang sengaja dilakukan oleh perusahaan industri perkebunan menyebabkan kebakaran hutan menjadi lebih besar dan sering terjadi.
Tercatat 22 dari 25 kelompok produsen (industri) sawit di Asia Tenggara yang menyumbang kerusakan terhadap hutan di Indonesia, diantaranya perusahaan raksasa yang aktif memproduksi sawit, yakni: Golden Agri Resources (SinarMas) seluas 502.847 Ha, disusul dengan IndoAgri (Indofood) dengan luas 387.937 Ha, kemudian ada Sime Darby dengan luas 279.691 Ha, Astra Agro Lestari seluas 279.011 Ha, dan Bumitama Agri (101 Grup) seluas 233.000 Ha. Serta Wilmar sebagai penyumbang ekspor kelapa sawit terbesar di Indonesia.


                       Link dapat diakses di: www.datawrapper.de/_/Z4qmD/

Penguasaan kebun sawit hingga saat ini pun masih dikuasai oleh perusahaan swasta, tercatat dalam data Ditjen Perkebunan tahun 2018 dimana 54,43% lahan sawit dikuasai swasta seluas 7.79 juta Ha. Lalu disusul dengan lahan plasma dan swadaya masyarakat sebesar 40,59% dimana 30% darinya dimiliki oleh swadaya, dan 70% sisanya merupakan lahan plasma yang berjumlah 5,81 juta Ha. Sedangkan lahan milik negara atau BUMN hanya sebesar 4,98% saja atau setara dengan 713,12 ribu Ha dari total areal 14,31 juta Ha lahan perkebunan kelapa sawit.
Walau begitu, Rusmadya berkata Greenpeace selaku pihak NGO tidak pernah mengatakan mereka anti terhadap perusahaan penghasil kelapa sawit dan ia juga berkata bahwa Greenpeace juga tidak mendukung boikot minyak kelapa sawit. Karena pada dasarnya sawit sendiri memiliki peran penting dalam kehidupan dan sumber perekonomian negara. Sawit sendiri juga merupakan komoditas yang sangat efisien terhadap penggunaan lahan dimana 1 Ha menghasilkan minyak nabati lebih dari komoditas lain seperti kedelai dan biji bunga matahari. Posisi Greenpeace terhadap sawit ini adalah ketika terjadi ekspansi atau perluasan kelapa sawit, perusahaan bisa bijaksana. Dalam artian setiap perusahaan harus bisa menjalankan tata kelola hutan dengan baik, tidak melakukan deforestasi, penghancuran gambut, memperhatikan hak asasi manusia, tidak mengeksploitasi, dan memperhatikan perubahan iklim. Pada dasarnya disinilah letak kesalahan yang dilakukan oleh oknum atau perusahaan dalam upaya pembukaan lahan yang diperuntukan kebun kelapa sawit. Mereka membuka lahan dengan cara membakar hutan yang pada akhirnya memperparah tingkat kebakaran hutan di Indonesia.

Tim Cegah Api sedang melakukan pemadaman di lahan gambut. Karakteristik api di lahan gambut tidak terlihat di permukaan, melainkan membakar habis gambut di bawah permukaan.
(Sumber foto: Greenpeace)

Setelah kasus kebakaran besar yang terjadi di Riau pada tahun 2015, Greenpeace tidak hanya diam. Di tahun 2016, Greenpeace kemudian mendirikan tim bernama Tim Cegah Api pada tahun 2016 sebagai bentuk inisiatif untuk mencegah dan memadamkan api kebakaran hutan dan lahan gambut serta mendorong upaya perlindungan hutan dan lahan gambut yang lebih kuat. Hal ini bertujuan selain untuk mendorong transparansi data, juga untuk informasi kehutanan dalam hal tata kelola hutan yang lebih baik. Tim tersebut adalah tim yang terdiri dari pemuda dan pemudi yang merupakan korban asap kebakaran yang ingin terjun langsung untuk mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia. Rusmadya menyatakan bahwa peran yang dilakukan oleh mereka mengenai persoalan kebakaran hutan adalah Greenpeace selalu mengkritisi soal deforestasi, mengkritisi persoalan berbasis lahan, serta terus menggalakan kampanye setiap temuan aktivitas pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada analisis secara langsung.
Selain Greenpeace, pihak pemerintah juga berperan mengatasi hal ini. Yaitu dengan membentuk badan yang melaksanakan kegiatan restorasi gambut. Atas dasar pertimbangan bencana ini, Presiden Joko Widodo pada tanggal 6 Januari 2016 telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG). BRG sendiri bertujuan untuk pemulihan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut yang rusak terutama akibat kebakaran dan pengeringan. Saat ini, terdapat tujuh provinsi yang menjadi fokus Badan Restorasi Gambut atau BRG, diantaranya Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua. Targetnya pada tahun 2020, wilayah seluas 2.492.527 Ha ekosistem gambut telah ditargetkan untuk direstorasi.



Dari data diatas dapat dilihat bahwa Sumatera mengalami kerusakan paling parah dibanding dengan pulau lain yang dieksploitasi. Diketahui dari Dewan Pengawas Komunitas Konservasi Indonesia Warung Informasi Konservasi (WARSI) dinyatakan bahwa hutan Sumatera hanya tersisa 11 juta Ha. angka tersebut sangatlah jauh dari total keseluruhan luas hutan Indonesia yang sebesar 128 juta Ha. jangankan dibanding dengan total keseluruhan hutan di Indonesia, dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit pun sudah tertinggal jauh, yang diketahui perkebunan kelapa sawit menyentuh angka 14,31 juta Ha menurut data Ditjen Perkebunan tahun 2018. Dari fakta tersebut diketahui hutan Sumatera mengalami penurunan luas lahan yang mana hal itu berdampak bagi masyarakat juga ekosistem penghuni hutan. Seperti satwa juga masyarakat adat yang menjadikan hutan sebagai tempat bertahan hidup. Contohnya orang Rimba di Jambi, yang perlahan tergeser dan ‘luntang-lantung’ karena tidak lagi memiliki kuasa atas hutan yang sudah terdesak oleh perkebunan.
Setelah itu, permasalahan lainnya juga bisa dilihat dari kebijakan berupa pajak oleh negara. Berdasarkan data Augria tahun 2018, menunjukan biaya pungutan pajak perkebunan sawit senilai Rp.43.000/Ha. Nominal ini sangatlah kecil untuk menghargai tanah seluas 10.000 meter dengan kondisi yang sangat produktif dan memberikan keuntungan yang sangat menjanjikan bagi perusahaan. Tercatat nilai ekspor yang mencapai ratusan triliun rupiah. Sehingga hal inilah yang menjadi motivasi pemilik modal untuk memperluas lahan mereka di tanah kehutanan Indonesia. Karena pada prinsipnya dalam berbisnis menekan modal sekecil-kecilnya dan mengais keuntungan sebesar-besarnya. Sehingga pada posisi ini peran pemerintah dalam menegakkan kebijakan ekonomi sangatlah penting, terutama dalam pemungutan pajak bagi lahan sawit yang ditaksir sangat terjangkau.
Penegakan hukum yang sangat tidak tegas menjadi salah satu pendorong perusahaan tersebut untuk semakin semena-mena. Petani dan rakyat kecil yang selalu disalahkan atas kasus lahan, apalagi pada saat asap atau kebakaran, mereka dituduh sebagai pelaku pembakar hutan guna pembukaan lahan perkebunan baik kelapa sawit maupun akasia. Padahal pada hakikatnya apapun yang terjadi pada lahan perkebunan merupakan tanggung jawab pemilik lahan. Walaupun kebakaran hutan terjadi dengan tidak sengaja, kasus tersebut tetaplah menjadi tanggung jawab pemilik dan pengelola lahan atas dasar kelalaian kepemilikan lahan. Namun, dengan kondisi hukum yang sangat ‘lunak’ ini membuat tingkat kriminalisasi yang dilakukan korporat pun semakin menjadi-jadi. Hal ini kemudian didukung dengan tidak tegasnya sanksi dan diterapkan bagi pemilik lahan, terutama kepemilikan lahan oleh sebuah perusahaan swasta yang semakin membangun zona nyaman bagi mereka untuk terus melakukan eksploitasi hutan.  Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor terbesar dalam memicu pertumbuhan angka kebakaran hutan di Indonesia. Seperti contohnya dapat kita lihat dalam salah satu kasus Profesor IPB Bambang Hero Saharjo digugat oleh pembakar lahan PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) sebesar Rp 510 miliar. Bambang kerap menjadi saksi ahli Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ini merupakan salah satu contoh dari banyak kasus pembela lingkungan yang dihakimi.
Meskipun telah didirikan Badan Restorasi Gambut untuk mengatasi masalah kebakaran hutan di Indonesia, permasalahan ini masih kerap terjadi di beberapa wilayah Indonesia lainnya. Salah satu faktornya adalah orientasi kepada ekspansi atau perluasan lahan yang dilakukan perusahaan industri kebun di Indonesia. Ekspansi terus dilakukan, karena bagi perusahaan keuntungan dapat diperoleh dengan mudah tanpa modal besar. Padahal banyak cara lain yang dapat dilakukan oleh perusahaan, salah satunya dengan upaya intensifikasi atau yang lebih dikenal dengan nama panca usaha tani. Intensifikasi adalah upaya dalam meningkatkan sebuah produktivitas lahan yang meliputi cara penggunaan pupuk, pengairan, pemberantasan hama dan penyakit, serta teknik dalam penanaman atau pemakaian bibit unggul.
            Kebakaran hutan dan lahan tentu memiliki dampak yang cukup besar. Dampak langsung yaitu polusi asap bagi setiap wilayah yang terjadi pada setiap tahunnya. Indonesia sendiri berpartisipasi dalam Kesepakatan Paris tahun 2015. Dimana tanpa syarat mengurangi emisi menjadi 25% dibawah bisnis seperti biasa pada 2020 dan 29% pada 2030, lalu mencapai pengurangan emisi 41% pada tahun 2030 dengan alih teknologi internasional, peningkatan kapasitas dan dukungan finansial, dan melaksanakan Rencana Adaptasi Nasional Perubahan Iklim. Dampak kepada perubahan iklim yaitu menyumbang emisi gas untuk periode 2000 hingga 2016, tingkat emisi tahunan rata-rata mencapai 709.409 Gg CO2e. Jika emisi dari kebakaran gambut dikecualikan, tingkat emisi tahunan rata-rata adalah 466.035 Gg CO2e, dengan dekomposisi rata-rata tahunan, yang dipancarkan rata-rata tahunan sebesar 304.377 Gg CO2e. Adapula dampak bagi sektor lain seperti ekonomi nelayan yang seharusnya dapat berlayar mencari tangkapan pun terpaksa untuk tidak berlayar mengingat asap kabut yang begitu tebal yang menutupi jarak pandang. di bidang transportasi adalah seperti yang terjadi pada maskapai penerbangan dimana mereka terpaksa mengundur serta juga harus merombak jadwal penerbangan, hingga menggunakan rute transit pada penerbangan pendek yang harus berangkat saat itu. dan di bidang pendidikan, siswa-siswi tidak dapat berangkat sekolah karena asap yang menyelimuti khawatir menyebabkan penyakit bagi mereka yang beraktivitas di luar rumah. Rusmadya juga bercerita ketika ia disana pada saat kebakaran masih terjadi, asap-asap tersebut mengharuskan setiap rumah memasangkan kain kain basah di ventilasi rumah demi menutup setiap celah yang memungkinkan masuknya asap ke dalam rumah. Dalam bidang kesehatan, menurut data dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, asap yang berasal dari kebakaran hutan (kayu dan bahan organik lain) mengandung campuran gas, partikel, dan bahan kimia akibat pembakaran yang tidak sempurna. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau tercatat penyakit yang muncul akibat kebakaran hutan yang tidak sempurna mencakup penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), penyakit kulit, mata, asma dan pneumonia.

Kesimpulan dan Penutup
Faktor utama kebakaran hutan dan penyusutan lahan hutan adalah adanya ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit dan akasia juga perkebunan lain yang turut menyumbang dalam penyusutan jumlah luas hutan. Ekspansi ini terjadi karena kurangnya ketegasan atas kebijakan yang diterapkan terhadap perkebunan kelapa sawit khususnya perihal pajak. Kemudian terdapat faktor lain seperti fenomena El-Nino yang juga memicu kekeringan dan menjadi penyebab kebakaran hutan.
Permasalahan utama yang datang ketika perusahaan sawit dan kertas masuk menguasai hutan adalah dilakukannya pembakaran hutan guna pembukaan lahan untuk menanam bahan baku mereka. Hal ini terus dilakukan karena mereka menganggap tidak ada cara lain yang lebih mudah dan ekonomis dalam praktik pembukaan lahan perkebunan dari lahan gambut. pada awalnya latar belakang dan urgensi yang dirasakan adalah dampak kebakaran hutan berupa asap yang khawatir mengganggu hingga ke negara-negara tetangga, namun setelah riset ini berjalan didapatkan temuan-temuan bahwa tokoh-tokoh dibalik penguasa perkebunan kelapa sawit merupakan warga negara asing yang merupakan negara tetangga.
Untuk mengatasi semua ini, tentu perlu adanya kerja sama dari pemerintah, NGO, dan juga seluruh masyarakat untuk bersama-sama membantu mencegah kebakaran hutan yang ada. Dari pihak pemerintah tentu perlu ada tindakan tegas yang dilakukan dalam menjaga hutan serta mengawasi setiap kelola tata perkebunan dan hutan yang sudah ada. Perusahaan kelapa sawit dan akasia boleh boleh saja untuk membuka lahan perkebunan, tapi dengan catatan bahwa mereka tidak diperkenankan merusak alam dan mengambil lahan masyarakat lokal hanya demi keuntungan semata. Dan tentunya menanam hanya pada lahan Areal Penggunaan Lain (APL) bukan membuka di kawasan hutan. Karena tentu jika tidak ada ketegasan dan juga pengawasan yang ketat, mereka akan terus menggunakan sistem pembakaran lahan secara bebas. Sehingga perlu dipertegas lagi kepada pengusaha kelapa sawit dan akasia. Jika ada ketegasan pemerintah dalam memberikan sanksi yang tegas, maka para perusahaan yang melakukan hal tersebut tidak akan melakukannya lagi karena sanksi yang diberikan sangat memberatkan dan merugikan mereka.

x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lilypie Kids Birthday tickers
Diberdayakan oleh Blogger.
 

Fathania Nazmi Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review