Air dan Perubahan Iklim

Keberagaman Itu Indah

cr: pixabay.com

Hello! Kembali lagi dengan saya, Fathania Nazmi Lulu Alam, si pemilik blog ini! Pada kesempatan kali ini saya ingin bercerita pengalaman saya yang memiliki teman-teman dan keluarga yang bisa dibilang memiliki identitas budaya yang beragam alias multikultural. Saya juga ingin bercerita sedikit tentang pandangan yang dulu entah dari mana tertanam atau bahkan bisa dibilang adanya banyak stereotype dari masyarakat yang melekat yang juga tertanam ke dalam diri saya. Desember gini memang paling enak kalau flashback. Kalo kayak gini, saya jadi ingin bernostalgia kembali ke masa-masa beberapa tahun lalu.


cr: pixabay.com

Yang pertama, saya ingin bercerita sedikit tentang sebuah stereotipe yang tidak sebetulnya benar. Sewaktu saya duduk di Sekolah Dasar, entah dari mana saya punya pandangan bahwa orang padang itu pelit. Memang sih dulu itu era internet sudah masuk, tapi rasanya dulu saya hanya bermain permainan online saja. Membaca berita dan terpapar beberapa 'pandangan' apalagi, sepertinya tidak memungkinkan, saya tidak yakin. Saya rasa pandangan itu datang dari sekitar saya. Mungkin teman? Tapi intinya saya ingin bilang bahwa sesungguhnya apa yang orang bilang tentang orang Padang itu pelit, itu bagi saya salah!
Saya punya sahabat sewaktu SD. Dia orang Padang. Dan tentu saja, dia tidak pelit seperti kebanyakan orang bilang. Jaman SD, sepertinya tidak semua teman akan menjajani temannya. Apalagi kalau masih kecil pasti belum dapat banyak uang bukan? Apa ini aku doang ya hehe…….ya, intinya dia sering menjajani saya, lho! Dia sangat baik, gak segan-segan untuk memberikan saya sebuah kado lucu ketika saya berulang tahun yaitu boneka sapi. Saya juga punya tante yang menikah dengan orang Padang. Dan tentu saja ia tidak pelit. Hanya sekadar mengingatkan bahwa gak semua stereotype dan prasangka yang beredar di masyarakat Indonesia itu benar adanya. Intinya segala informasi yang kita dapatkan sebaiknya jangan langsung ditanamkan dalam pikiran dengan gamblang. Oiya, pentingnya penanaman nilai toleransi dari keluarga juga penting. Saya sering diingatkan juga, bahwa walau agama kita beda, suku kita beda, ya tetap saja kita orang Indonesia. Kita satu.

Beralih satu tingkat dari Sekolah Dasar, yaitu ke SMP. Sebenarnya, saya SD bersekolah di Madrasah Ibtida’iyah, dimana orang-orangnya seragam alias masih satu keyakinan agama yang dianut. Well, dari SD pastinya saya sudah diajarkan bagaimana di Indonesia punya agama yang berbeda dan suku bangsa yang berbeda. Tentunya saya yakin, dalam agama saya pun diajarkan yang namanya toleransi dan juga memilki prasangka yang baik terhadap orang lain. Tapi itu secara teori, dan bagaimana teori itu diterapkan, nah ini juga penting. Saya mungkin cukup sedikit kaget, ketika saya masuk SMP ada banyak teman saya yang berbeda dengan saya, seperti agama. Tapi nyatanya itu tidak menghambat pertemanan. Di SMP saya, sebelum masuk kelas, setiap agama berkumpul untuk berdoa di ruangnya masing-masing. Hal ini menjadi suatu hal yang baru bagi saya. Dulu waktu di SD karena semua sama, ya berdoa tinggal baca doa bersama karena semuanya satu keyakinan, tapi kemudian di SMP saya memiliki teman-teman yang beragam. Saya jadi belajar, oh ternyata benar ya kita hidup bukan cuman ada orang yang menganut apa yang kita yakini doang. Dan pengalaman saya dengan sekolah di negeri jadi bisa belajar banyak keberagaman juga.

Bercerita teman saya yang juga memiliki perbedaan identitas, mari berlanjut ke tingkat SMA. Teman-teman SMA pun juga sama, kami lebih beragam lagi. Ada yang batak, jawa, sunda, sunda-jawa, dan saya sendiri kalimantan. Sebetulnya, karena keberagaman itulah yang membuat kita menyatu. Walau berbeda, sejatinya diri kita ini unik. Ngga jadi hambatan latar belakang berbeda. Dalam pertemanan ini, toleransi sebetulnya sesimpel pas kita mau pergi main, ya kita menghargai kalo ada teman saya ada yang mau pergi ibadah ketika weekend seperti pergi ke Gereja. Atau ketika teman saya yang menghargai ketika saya harus beribadah 5 kali sehari. Sesimpel ketika bulan puasa, teman saya merasa tidak enak kalau makan di depan orang yang berpuasa. Seringkali mereka bilang ‘hargain yang puasa’, ya padahal sebetulnya gak papa juga kok makan depan kami, tapi menurutku mereka sangat menghargai. Kemudian, ada pula pandangan yang melekat tentang orang Jawa yang melakukan sesuatu lama, sebetulnya ya ngga juga sih. Menepiskan stereotype tersebut, teman saya ngga seperti yang kebanyakan orang pikir. Dia orangnya teliti dan juga sangat rapih. Cerita lain dari SMA yaitu SMA saya termasuk yang terkenal karena ‘Islami’-nya dikarenakan organisasi Kerohanian Islam (rohis) sangatlah kuat. Selain itu juga banyak acara-acara dari kerohanian yang diadakan khusus untuk siswa-siswi di sekolah. Tapi jangan salah, dibalik kekentalannya dengan suasana islami, sekolah saya juga kerohanian Kristen (rohkris) juga kuat. Saya punya sahabat juga yang sama-sama mentor di kelompok kecil kerohanian, dia di rohkris dan saya di rohis. Tapi itu tidak menjadi sebuah hambatan kami berteman. Malah kami suka saling bertukar cerita.

Kemudian dari SMA berlanjut ke perkuliahan. Disinilah saya makin merasa lebih sangat beragam lagi. Dari sabang sampai merauke, kampus saya pasti ada saja mahasiswa yang menjadi perwakilan setiap daerahnya karena itu UI bisa disebut kecilnya Indonesia. Senang bisa belajar disini. Pertama kali saya menjadi mahasiswa baru, saya berkenalan dengan teman-teman yang beragam di FISIP. Ada yang dari Medan, Lampung, Bengkulu, Lombok. Walaupun ini adalah pertama kali berkenalan dengan orang dari Lombok dan asal daerah kita berbeda, justru itu yang tidak dikhawatirkan, saya jadi lebih isitilahnya ‘kepo’ karena kita berbeda. Seiring saya mengobrol dengan dia, ternyata kami nyambung-nyambung aja kok bercerita bersama! Menurutku, keberagaman inilah yang membuat kita indah sebagai kesatuan dari mahasiswa di UI. Yang paling lucu yaitu ketika temanku yang dari luar daerah itu sama-sama ngobrol pakai bahasanya mereka. Aku yang ngga ngerti jadi kebingungan sebetulnya. Tapi justru saya merasa inilah yang harus dihargai dan dibanggakan. We are so diverse but that's so cool!

Perkuliahan bukan hanya cerita saya mendapat teman dari berbagai daerah, tapi beragam keyakinan juga semakin tinggi. Orang-orang yang belum pernah saya temui seperti agama hindu, budha, konghucu, dan bahkan tidak memiliki kepercayaan pun saya temui. Benar-benar definisi beragam yang sejujurnya bikin saya kaget. Tapi ini membuat saya sadar, “wah ternyata tidak Indonesia itu benar-benar beragam luar biasa. Saya pun juga menemui teman-teman saya yang memiliki orientasi seksual yang tidak sama dengan orang kebanyakan. Walau saya punya teman-teman yang beragam, saya semakin mengerti bahwa toleransi itu penting. Apa pun keyakinan yang orang-orang anut, kita harus bisa menghargai mereka. Dan hal tersebut justru bukan menjadi sebuah perdebatan yang harus kita ikut campuri. Teman-teman yang juga harus beradaptasi, mereka biasanya mencoba memahami bagaimana keadaan yang ada di lingkungan kampus sebelum akhirnya mereka bisa memahami atau menghargai bagaimana perbedaan yang mereka alami.
Di samping perkuliahan, saya juga pernah ikut kegiatan di Chesire. Tempat sebuah yayasan untuk disabilitas khususnya tuna daksa di Indonesia untuk mengembangkan potensinya sehingga dapat hidup mandiri dan mampu berkarya dalam komunitas. Di sana saya berkenalan dengan Tian, seorang pianis yang tunanetra. Dia bahkan sudah mengadakan konsernya sendiri untuk tampil memainkan piano. Dan itu keren banget ya serius! Awalnya saya kenal dari kakak saya yang sempat menjadi pembicara di salah satu sekolah tentang bagaimana mengekspresikan diri. Di sini, saya bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Termasuk Tian. Dari dia, saya belajar kekurangan bukan berarti menjadi sebuah perbedaan dan hambatan untuk berprestasi. Ketekunan dan kegigihannya membuat saya belajar banyak akan tidak mudahnya pantang menyerah dalam melakukan apa yang dia sukai. Kami juga sebetulnya berbeda keyakinan, tapi bukan berarti kita tidak berteman.

Cerita berlanjut dari teman ke keluarga ya. Sebetulnya ini bukan cerita tentang keluarga inti, lebih tepatnya Bude Wiwi, saudara perempuan (kakak) dari Bunda, yang menikah dengan suaminya berasal dari Australia. Yap, Namanya Pakde Peter. Sudah dari dulu Bude Wiwi ikut tinggal di Australia bersama dengan Pakde Peter dan ketiga anaknya, Kak John, Kak Dave, dan Kak Wendy. Mereka sesekali datang ke Indonesia, biasanya ketika lebaran tiba dan juga ya memang ingin datang saja kesini. Dulu, sewaktu kecil (ya namanya masih kecil) saya norak banget karena punya saudara dari luar negeri alias ‘bule’. Perbedaan budaya dan tantangan antara Bude dan Pakde tentunya pasti ada. Bude yang tentunya asli orang Indonesia dan Pakde yang secara total ngomongnya pakai bahasa inggris. Ia juga sempat bercerita bagaimana harus mengajarkan Pakde untuk beribadah sesuai keyakinan. Waktu kecil sekitar umur 6 tahun, saya diminta oleh Pakde mengantar Pakde saya pergi ke supermarket. Pakde saya kebingungan: “bagaimana bisa anak kecil mengantarkan saya, apalagi untuk membeli beer.” Hingga saat ini, saya juga ikut kebingungan ternyata dulu saya seberani itu ya. Pakde sempat cerita semenjak tidak ada Bude Wiwi, ia tidak ada yang mengajarkan lagi bahasa Indonesia, jadi ia kadang sedikit-sedikit lupa.

Sekian cerita ini sudah sampai di paragraf terakhir. Dari semua yang saya ceritakan, mari kita jadikan sebuah pelajaran dan pengalaman dalam hidup sesungguhnya sangat penting. Yang pertama, penanaman nilai toleransi seharusnya dilakukan sejak sedari kecil yaitu melalui keluarga. Terutama orang tua yang mengajarkan kepada anaknya mengenai keberagaman yang multicultural di lingkungan tempat kita tinggal. Saya belajar bahwa keluarga saya mengajarkan walau tiap orang itu beda, kita harus tetap menghargai sesama, menghormati, tidak membeda-bedakan karena kita semua setara dan tidak dapat terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Kemudian, instansi pendidikan juga mengambil peran penting. Di sekolah ketika guru mengajarkan materi-materi toleransi sebaiknya bukan hanya dijelaskan saja, tapi mungkin bisa dipraktikkan secara langsung. Mungkin bisa dalam bentuk roleplay antar siswa memerankan peran yang beragam. Kemudian dalam era internet, mungkin peran pemerintah bisa membuat suatu kampanye yang berhubungan dengan isu toleransi dan keberagaman di Indonesia. Melihat banyaknya isu intoleransi yang merebak akhir-akhir ini. Sehingga, mungkin bisa dikaji lebih lanjut untuk bisa memberi informasi kepada masyarakat pentingnya kesadaran dalam hidup bermultikultural.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lilypie Kids Birthday tickers
Diberdayakan oleh Blogger.
 

Fathania Nazmi Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review