Air dan Perubahan Iklim

Hunting Foto di Ragunan

jadi fotografer itu sulit. bukan asal jepret sana sini dan hasilnya bagus. tapi setidaknya, foto yang kalian hasilkan bisa punya nilai. atau bahkan fotonya bercerita. apalagi kalo foto jurnalistik, ya harus ada nilai beritanya.
setelah bertahun-tahun gak pegang kamera, seriusan gue sekaget itu. merasa apa yg gue foto itu gak ada artinya. asal jepret asal ambil, tanpa tau artinya apa.
kemaren gue bersama bocah2 ini hunting di ragunan. kus katanya mau jadi fotografer biar gajinya banyak. jeje katanya mau jadi HRD aja di perusahaan keluarganya. ina katanya mau jadi menteri.
setelah matkul jurnalisme foto, gue mau belajar banyak ttg kamera lagi. ya tapi sayangnya ya gak ada kamera. mari kita berdoa supaya ada kamera tiba2 jatuh dari langit.

by the way, here are the pictures that I took which I think is better than the other picture.







Menilik Kaitan Korporasi Kelapa Sawit, Lahan Gambut, dan Kebakaran Hutan di Indonesia

Menilik Kaitan Korporasi Kelapa Sawit, Lahan Gambut, dan Kebakaran Hutan di Indonesia
oleh: Antonius Christian - Fathania Nazmi Lulu Alam - Fira Fatihalda - Susi Nurdinaningsih

“Saya miris sekali melihat keadaan waktu itu,” adalah kesan pertama saat Rusmadya Maharudin, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mendatangi langsung lokasi kebakaran hutan di Riau pada tahun 2015. Jalan tertutup kabut asap, ribuan tanaman hangus, binatang pun kering menyatu dengan batang pohon yang gosong terbakar, itulah kondisi yang dilihatnya.
 Beberapa minggu setelah kebakaran, Rusmadya dan tim kembali mengunjungi lokasi kebakaran untuk melakukan pengamatan lanjutan. Tetapi, bukan berita baik yang mereka dapat, melainkan kesedihan dan kemarahan karena mereka melihat tunas pohon sawit yang bersanding dengan batang pohon yang sebelumnya terbakar. Kejadian tersebut menjadi petunjuk baginya bahwa faktor kebakaran ini terjadi atas kesengajaan yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit.
            Kisah miris yang dialami oleh Rusmadya adalah contoh dari gambaran keadaan yang terjadi dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di salah satu hutan di Riau. Kebakaran hutan memiliki dampak yang besar bagi sekitarnya, seperti kesehatan, sosial, lingkungan bahkan emisi gas yang menyumbang perubahan iklim. Oleh sebab itu, permasalahan karhutla menjadi hal yang serius untuk ditangani bersama. Tidak hanya pemerintah saja, tapi juga bersama-sama dengan pihak NGO (non-governmental organization) dan industri yang bermain di dalamnya. Karena dari tahun ke tahun kebakaran ini selalu saja terjadi, seperti data yang ditampilkan sebagai berikut.

Dapat diakses di: bit.ly/statistikdatakarhutla

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), total karhutla pada tahun 2013 yaitu 4918.74 Ha dengan provinsi pertama Jawa Timur dengan luas 1.352,14 Ha dan disusul dengan Riau 1.077,50. Pada tahun 2014 total luas karhutla sebesar 44.411,36 Ha dengan posisi pertama Sumatera Selatan 8.504,86 Ha dan disusul dengan Riau sebesar 6.301,10 Ha. Kemudian total karhutla pada tahun 2015 telah menghabiskan hutan dan lahan di Indonesia sebesar 261.060,44 Ha. Provinsi Kalimantan Tengah menyumbang lahan terbakar 122.882,90 Ha. Lalu, total karhutla pada 2016 menghabiskan sebesar 14.604,84 Ha dengan posisi daerah Kalimantan Barat sebesar 1.859,05 Ha. Pada 2017 total karhutla sebesar 11.127,49 dan yang terakhir pada 2018 yang diakses pada November 2018 yaitu besarannya sejumlah 4.666,39 Ha.
Rusmadya menambahkan, bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah lahan gambut yang terbakar. Lahan gambut sendiri adalah tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik lebih besar dari 65% (enam puluh lima persen) secara alami dari lapukan vegetasi yang tumbuh diatasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah.
Gambut merupakan lahan basah yang mengandung ribuan kubik air serta akar serabut yang sangat banyak, sehingga lahan gambut tidak dapat dengan mudah ditanami untuk lahan perkebunan. Proses yang dilalui panjang apabila dilakukan sesuai prosedur untuk mengeringkan lahan gambut hingga akhirnya dapat ditanami tanaman kebun seperti kelapa sawit dan akasia. Sehingga banyak perusahaan yang memilih jalan pintas dengan cara membakar. Lahan gambut sendiri memiliki kedalaman yang rawan terbakar yaitu sebesar 4 meter hingga 20 meter. Dampak yang dihasilkan dari membakar lahan gambut juga berpengaruh signifikan dalam memicu kebakaran hutan di titik lain atau sekitar lahan yang dibakar guna kebutuhan sawit dan akasia. mengingat bentuk lahan gambut yang memiliki akar yang sangat banyak dan relatif dalam. Hal ini seringkali membuat api dari lahan gambut yang sudah dipadamkan terlihat tidak panas (titik api tidak terlihat), padahal di bawah permukaan lahan gambut masih terdapat bara api yang menyala dan seringkali tidak terlihat. Kondisi seperti ini berpotensi menyebarkan api lebih luas lagi melalui akar akar panas yang terhubung dengan lahan lain di sekelilingnya yang tidak terbakar sebelumnya. Hal ini dikarenakan cara ini selain dianggap mudah, juga ekonomis guna menekan modal yang dikeluarkan. Namun ketika lahan gambut dipicu untuk dikeringkan menjadi lahan perkebunan, ia sangat sulit untuk dipadamkan. Pemicu lainnya yang menjadi penyebab kebakaran hutan adalah perubahan musim kemarau yaitu terjadinya fenomena El-Nino yang mengakibatkan kekeringan. Dalam data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), sebelumnya fenomena ini pernah terjadi pada 1997 dan pengaruh El-Nino membuat berkurangnya cuaca hujan di beberapa wilayah Indonesia. Faktor ini kemudian menjadi faktor pendukung lahan gambut menjadi sangat kering sehingga lebih mudah untuk terbakar.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK melalui Kajian Sistem Tata Kelola Komoditas Kelapa Sawit 2016 membuktikan bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan penyumbang terbesar penyusutan luas hutan, disusul dengan jumlah perkebunan akasia yang juga menguasai hutan di Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Data BNPB pun juga menunjukkan sebagian besar kebakaran hutan terjadi karena pembakaran lahan gambut untuk membuka lahan kelapa sawit oleh perusahaan industri perkebunan kelapa sawit. Memang dalam pemanfaatannya, berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 tahun 2009 mengenai Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit, perusahaan bisa menggunakan kawasan budidaya, namun harus berasal dari kawasan hutan yang telah dilepas dan/atau areal penggunaan lain (APL). Akan tetapi dalam data KPK, total jumlah tutupan lahan sawit di kawasan hutan mencapai jumlah yang tinggi yaitu sebesar 3.443.508 Ha. Dengan Provinsi Riau berada di urutan teratas dengan luas 1.219.410 Ha. Walaupun kelapa sawit menjadi komoditas ekspor ketiga terbesar yaitu sekitar USD 18,1 milyar (BPS, 2015), tetapi kasus karhutla ini menimbulkan kerugian sebesar USD 295 juta. Karhutla yang sengaja dilakukan oleh perusahaan industri perkebunan menyebabkan kebakaran hutan menjadi lebih besar dan sering terjadi.
Tercatat 22 dari 25 kelompok produsen (industri) sawit di Asia Tenggara yang menyumbang kerusakan terhadap hutan di Indonesia, diantaranya perusahaan raksasa yang aktif memproduksi sawit, yakni: Golden Agri Resources (SinarMas) seluas 502.847 Ha, disusul dengan IndoAgri (Indofood) dengan luas 387.937 Ha, kemudian ada Sime Darby dengan luas 279.691 Ha, Astra Agro Lestari seluas 279.011 Ha, dan Bumitama Agri (101 Grup) seluas 233.000 Ha. Serta Wilmar sebagai penyumbang ekspor kelapa sawit terbesar di Indonesia.


                       Link dapat diakses di: www.datawrapper.de/_/Z4qmD/

Penguasaan kebun sawit hingga saat ini pun masih dikuasai oleh perusahaan swasta, tercatat dalam data Ditjen Perkebunan tahun 2018 dimana 54,43% lahan sawit dikuasai swasta seluas 7.79 juta Ha. Lalu disusul dengan lahan plasma dan swadaya masyarakat sebesar 40,59% dimana 30% darinya dimiliki oleh swadaya, dan 70% sisanya merupakan lahan plasma yang berjumlah 5,81 juta Ha. Sedangkan lahan milik negara atau BUMN hanya sebesar 4,98% saja atau setara dengan 713,12 ribu Ha dari total areal 14,31 juta Ha lahan perkebunan kelapa sawit.
Walau begitu, Rusmadya berkata Greenpeace selaku pihak NGO tidak pernah mengatakan mereka anti terhadap perusahaan penghasil kelapa sawit dan ia juga berkata bahwa Greenpeace juga tidak mendukung boikot minyak kelapa sawit. Karena pada dasarnya sawit sendiri memiliki peran penting dalam kehidupan dan sumber perekonomian negara. Sawit sendiri juga merupakan komoditas yang sangat efisien terhadap penggunaan lahan dimana 1 Ha menghasilkan minyak nabati lebih dari komoditas lain seperti kedelai dan biji bunga matahari. Posisi Greenpeace terhadap sawit ini adalah ketika terjadi ekspansi atau perluasan kelapa sawit, perusahaan bisa bijaksana. Dalam artian setiap perusahaan harus bisa menjalankan tata kelola hutan dengan baik, tidak melakukan deforestasi, penghancuran gambut, memperhatikan hak asasi manusia, tidak mengeksploitasi, dan memperhatikan perubahan iklim. Pada dasarnya disinilah letak kesalahan yang dilakukan oleh oknum atau perusahaan dalam upaya pembukaan lahan yang diperuntukan kebun kelapa sawit. Mereka membuka lahan dengan cara membakar hutan yang pada akhirnya memperparah tingkat kebakaran hutan di Indonesia.

Tim Cegah Api sedang melakukan pemadaman di lahan gambut. Karakteristik api di lahan gambut tidak terlihat di permukaan, melainkan membakar habis gambut di bawah permukaan.
(Sumber foto: Greenpeace)

Setelah kasus kebakaran besar yang terjadi di Riau pada tahun 2015, Greenpeace tidak hanya diam. Di tahun 2016, Greenpeace kemudian mendirikan tim bernama Tim Cegah Api pada tahun 2016 sebagai bentuk inisiatif untuk mencegah dan memadamkan api kebakaran hutan dan lahan gambut serta mendorong upaya perlindungan hutan dan lahan gambut yang lebih kuat. Hal ini bertujuan selain untuk mendorong transparansi data, juga untuk informasi kehutanan dalam hal tata kelola hutan yang lebih baik. Tim tersebut adalah tim yang terdiri dari pemuda dan pemudi yang merupakan korban asap kebakaran yang ingin terjun langsung untuk mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia. Rusmadya menyatakan bahwa peran yang dilakukan oleh mereka mengenai persoalan kebakaran hutan adalah Greenpeace selalu mengkritisi soal deforestasi, mengkritisi persoalan berbasis lahan, serta terus menggalakan kampanye setiap temuan aktivitas pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada analisis secara langsung.
Selain Greenpeace, pihak pemerintah juga berperan mengatasi hal ini. Yaitu dengan membentuk badan yang melaksanakan kegiatan restorasi gambut. Atas dasar pertimbangan bencana ini, Presiden Joko Widodo pada tanggal 6 Januari 2016 telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG). BRG sendiri bertujuan untuk pemulihan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut yang rusak terutama akibat kebakaran dan pengeringan. Saat ini, terdapat tujuh provinsi yang menjadi fokus Badan Restorasi Gambut atau BRG, diantaranya Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua. Targetnya pada tahun 2020, wilayah seluas 2.492.527 Ha ekosistem gambut telah ditargetkan untuk direstorasi.



Dari data diatas dapat dilihat bahwa Sumatera mengalami kerusakan paling parah dibanding dengan pulau lain yang dieksploitasi. Diketahui dari Dewan Pengawas Komunitas Konservasi Indonesia Warung Informasi Konservasi (WARSI) dinyatakan bahwa hutan Sumatera hanya tersisa 11 juta Ha. angka tersebut sangatlah jauh dari total keseluruhan luas hutan Indonesia yang sebesar 128 juta Ha. jangankan dibanding dengan total keseluruhan hutan di Indonesia, dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit pun sudah tertinggal jauh, yang diketahui perkebunan kelapa sawit menyentuh angka 14,31 juta Ha menurut data Ditjen Perkebunan tahun 2018. Dari fakta tersebut diketahui hutan Sumatera mengalami penurunan luas lahan yang mana hal itu berdampak bagi masyarakat juga ekosistem penghuni hutan. Seperti satwa juga masyarakat adat yang menjadikan hutan sebagai tempat bertahan hidup. Contohnya orang Rimba di Jambi, yang perlahan tergeser dan ‘luntang-lantung’ karena tidak lagi memiliki kuasa atas hutan yang sudah terdesak oleh perkebunan.
Setelah itu, permasalahan lainnya juga bisa dilihat dari kebijakan berupa pajak oleh negara. Berdasarkan data Augria tahun 2018, menunjukan biaya pungutan pajak perkebunan sawit senilai Rp.43.000/Ha. Nominal ini sangatlah kecil untuk menghargai tanah seluas 10.000 meter dengan kondisi yang sangat produktif dan memberikan keuntungan yang sangat menjanjikan bagi perusahaan. Tercatat nilai ekspor yang mencapai ratusan triliun rupiah. Sehingga hal inilah yang menjadi motivasi pemilik modal untuk memperluas lahan mereka di tanah kehutanan Indonesia. Karena pada prinsipnya dalam berbisnis menekan modal sekecil-kecilnya dan mengais keuntungan sebesar-besarnya. Sehingga pada posisi ini peran pemerintah dalam menegakkan kebijakan ekonomi sangatlah penting, terutama dalam pemungutan pajak bagi lahan sawit yang ditaksir sangat terjangkau.
Penegakan hukum yang sangat tidak tegas menjadi salah satu pendorong perusahaan tersebut untuk semakin semena-mena. Petani dan rakyat kecil yang selalu disalahkan atas kasus lahan, apalagi pada saat asap atau kebakaran, mereka dituduh sebagai pelaku pembakar hutan guna pembukaan lahan perkebunan baik kelapa sawit maupun akasia. Padahal pada hakikatnya apapun yang terjadi pada lahan perkebunan merupakan tanggung jawab pemilik lahan. Walaupun kebakaran hutan terjadi dengan tidak sengaja, kasus tersebut tetaplah menjadi tanggung jawab pemilik dan pengelola lahan atas dasar kelalaian kepemilikan lahan. Namun, dengan kondisi hukum yang sangat ‘lunak’ ini membuat tingkat kriminalisasi yang dilakukan korporat pun semakin menjadi-jadi. Hal ini kemudian didukung dengan tidak tegasnya sanksi dan diterapkan bagi pemilik lahan, terutama kepemilikan lahan oleh sebuah perusahaan swasta yang semakin membangun zona nyaman bagi mereka untuk terus melakukan eksploitasi hutan.  Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor terbesar dalam memicu pertumbuhan angka kebakaran hutan di Indonesia. Seperti contohnya dapat kita lihat dalam salah satu kasus Profesor IPB Bambang Hero Saharjo digugat oleh pembakar lahan PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) sebesar Rp 510 miliar. Bambang kerap menjadi saksi ahli Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ini merupakan salah satu contoh dari banyak kasus pembela lingkungan yang dihakimi.
Meskipun telah didirikan Badan Restorasi Gambut untuk mengatasi masalah kebakaran hutan di Indonesia, permasalahan ini masih kerap terjadi di beberapa wilayah Indonesia lainnya. Salah satu faktornya adalah orientasi kepada ekspansi atau perluasan lahan yang dilakukan perusahaan industri kebun di Indonesia. Ekspansi terus dilakukan, karena bagi perusahaan keuntungan dapat diperoleh dengan mudah tanpa modal besar. Padahal banyak cara lain yang dapat dilakukan oleh perusahaan, salah satunya dengan upaya intensifikasi atau yang lebih dikenal dengan nama panca usaha tani. Intensifikasi adalah upaya dalam meningkatkan sebuah produktivitas lahan yang meliputi cara penggunaan pupuk, pengairan, pemberantasan hama dan penyakit, serta teknik dalam penanaman atau pemakaian bibit unggul.
            Kebakaran hutan dan lahan tentu memiliki dampak yang cukup besar. Dampak langsung yaitu polusi asap bagi setiap wilayah yang terjadi pada setiap tahunnya. Indonesia sendiri berpartisipasi dalam Kesepakatan Paris tahun 2015. Dimana tanpa syarat mengurangi emisi menjadi 25% dibawah bisnis seperti biasa pada 2020 dan 29% pada 2030, lalu mencapai pengurangan emisi 41% pada tahun 2030 dengan alih teknologi internasional, peningkatan kapasitas dan dukungan finansial, dan melaksanakan Rencana Adaptasi Nasional Perubahan Iklim. Dampak kepada perubahan iklim yaitu menyumbang emisi gas untuk periode 2000 hingga 2016, tingkat emisi tahunan rata-rata mencapai 709.409 Gg CO2e. Jika emisi dari kebakaran gambut dikecualikan, tingkat emisi tahunan rata-rata adalah 466.035 Gg CO2e, dengan dekomposisi rata-rata tahunan, yang dipancarkan rata-rata tahunan sebesar 304.377 Gg CO2e. Adapula dampak bagi sektor lain seperti ekonomi nelayan yang seharusnya dapat berlayar mencari tangkapan pun terpaksa untuk tidak berlayar mengingat asap kabut yang begitu tebal yang menutupi jarak pandang. di bidang transportasi adalah seperti yang terjadi pada maskapai penerbangan dimana mereka terpaksa mengundur serta juga harus merombak jadwal penerbangan, hingga menggunakan rute transit pada penerbangan pendek yang harus berangkat saat itu. dan di bidang pendidikan, siswa-siswi tidak dapat berangkat sekolah karena asap yang menyelimuti khawatir menyebabkan penyakit bagi mereka yang beraktivitas di luar rumah. Rusmadya juga bercerita ketika ia disana pada saat kebakaran masih terjadi, asap-asap tersebut mengharuskan setiap rumah memasangkan kain kain basah di ventilasi rumah demi menutup setiap celah yang memungkinkan masuknya asap ke dalam rumah. Dalam bidang kesehatan, menurut data dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, asap yang berasal dari kebakaran hutan (kayu dan bahan organik lain) mengandung campuran gas, partikel, dan bahan kimia akibat pembakaran yang tidak sempurna. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau tercatat penyakit yang muncul akibat kebakaran hutan yang tidak sempurna mencakup penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), penyakit kulit, mata, asma dan pneumonia.

Kesimpulan dan Penutup
Faktor utama kebakaran hutan dan penyusutan lahan hutan adalah adanya ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit dan akasia juga perkebunan lain yang turut menyumbang dalam penyusutan jumlah luas hutan. Ekspansi ini terjadi karena kurangnya ketegasan atas kebijakan yang diterapkan terhadap perkebunan kelapa sawit khususnya perihal pajak. Kemudian terdapat faktor lain seperti fenomena El-Nino yang juga memicu kekeringan dan menjadi penyebab kebakaran hutan.
Permasalahan utama yang datang ketika perusahaan sawit dan kertas masuk menguasai hutan adalah dilakukannya pembakaran hutan guna pembukaan lahan untuk menanam bahan baku mereka. Hal ini terus dilakukan karena mereka menganggap tidak ada cara lain yang lebih mudah dan ekonomis dalam praktik pembukaan lahan perkebunan dari lahan gambut. pada awalnya latar belakang dan urgensi yang dirasakan adalah dampak kebakaran hutan berupa asap yang khawatir mengganggu hingga ke negara-negara tetangga, namun setelah riset ini berjalan didapatkan temuan-temuan bahwa tokoh-tokoh dibalik penguasa perkebunan kelapa sawit merupakan warga negara asing yang merupakan negara tetangga.
Untuk mengatasi semua ini, tentu perlu adanya kerja sama dari pemerintah, NGO, dan juga seluruh masyarakat untuk bersama-sama membantu mencegah kebakaran hutan yang ada. Dari pihak pemerintah tentu perlu ada tindakan tegas yang dilakukan dalam menjaga hutan serta mengawasi setiap kelola tata perkebunan dan hutan yang sudah ada. Perusahaan kelapa sawit dan akasia boleh boleh saja untuk membuka lahan perkebunan, tapi dengan catatan bahwa mereka tidak diperkenankan merusak alam dan mengambil lahan masyarakat lokal hanya demi keuntungan semata. Dan tentunya menanam hanya pada lahan Areal Penggunaan Lain (APL) bukan membuka di kawasan hutan. Karena tentu jika tidak ada ketegasan dan juga pengawasan yang ketat, mereka akan terus menggunakan sistem pembakaran lahan secara bebas. Sehingga perlu dipertegas lagi kepada pengusaha kelapa sawit dan akasia. Jika ada ketegasan pemerintah dalam memberikan sanksi yang tegas, maka para perusahaan yang melakukan hal tersebut tidak akan melakukannya lagi karena sanksi yang diberikan sangat memberatkan dan merugikan mereka.

x

Keberagaman Itu Indah

cr: pixabay.com

Hello! Kembali lagi dengan saya, Fathania Nazmi Lulu Alam, si pemilik blog ini! Pada kesempatan kali ini saya ingin bercerita pengalaman saya yang memiliki teman-teman dan keluarga yang bisa dibilang memiliki identitas budaya yang beragam alias multikultural. Saya juga ingin bercerita sedikit tentang pandangan yang dulu entah dari mana tertanam atau bahkan bisa dibilang adanya banyak stereotype dari masyarakat yang melekat yang juga tertanam ke dalam diri saya. Desember gini memang paling enak kalau flashback. Kalo kayak gini, saya jadi ingin bernostalgia kembali ke masa-masa beberapa tahun lalu.


cr: pixabay.com

Yang pertama, saya ingin bercerita sedikit tentang sebuah stereotipe yang tidak sebetulnya benar. Sewaktu saya duduk di Sekolah Dasar, entah dari mana saya punya pandangan bahwa orang padang itu pelit. Memang sih dulu itu era internet sudah masuk, tapi rasanya dulu saya hanya bermain permainan online saja. Membaca berita dan terpapar beberapa 'pandangan' apalagi, sepertinya tidak memungkinkan, saya tidak yakin. Saya rasa pandangan itu datang dari sekitar saya. Mungkin teman? Tapi intinya saya ingin bilang bahwa sesungguhnya apa yang orang bilang tentang orang Padang itu pelit, itu bagi saya salah!
Saya punya sahabat sewaktu SD. Dia orang Padang. Dan tentu saja, dia tidak pelit seperti kebanyakan orang bilang. Jaman SD, sepertinya tidak semua teman akan menjajani temannya. Apalagi kalau masih kecil pasti belum dapat banyak uang bukan? Apa ini aku doang ya hehe…….ya, intinya dia sering menjajani saya, lho! Dia sangat baik, gak segan-segan untuk memberikan saya sebuah kado lucu ketika saya berulang tahun yaitu boneka sapi. Saya juga punya tante yang menikah dengan orang Padang. Dan tentu saja ia tidak pelit. Hanya sekadar mengingatkan bahwa gak semua stereotype dan prasangka yang beredar di masyarakat Indonesia itu benar adanya. Intinya segala informasi yang kita dapatkan sebaiknya jangan langsung ditanamkan dalam pikiran dengan gamblang. Oiya, pentingnya penanaman nilai toleransi dari keluarga juga penting. Saya sering diingatkan juga, bahwa walau agama kita beda, suku kita beda, ya tetap saja kita orang Indonesia. Kita satu.

Beralih satu tingkat dari Sekolah Dasar, yaitu ke SMP. Sebenarnya, saya SD bersekolah di Madrasah Ibtida’iyah, dimana orang-orangnya seragam alias masih satu keyakinan agama yang dianut. Well, dari SD pastinya saya sudah diajarkan bagaimana di Indonesia punya agama yang berbeda dan suku bangsa yang berbeda. Tentunya saya yakin, dalam agama saya pun diajarkan yang namanya toleransi dan juga memilki prasangka yang baik terhadap orang lain. Tapi itu secara teori, dan bagaimana teori itu diterapkan, nah ini juga penting. Saya mungkin cukup sedikit kaget, ketika saya masuk SMP ada banyak teman saya yang berbeda dengan saya, seperti agama. Tapi nyatanya itu tidak menghambat pertemanan. Di SMP saya, sebelum masuk kelas, setiap agama berkumpul untuk berdoa di ruangnya masing-masing. Hal ini menjadi suatu hal yang baru bagi saya. Dulu waktu di SD karena semua sama, ya berdoa tinggal baca doa bersama karena semuanya satu keyakinan, tapi kemudian di SMP saya memiliki teman-teman yang beragam. Saya jadi belajar, oh ternyata benar ya kita hidup bukan cuman ada orang yang menganut apa yang kita yakini doang. Dan pengalaman saya dengan sekolah di negeri jadi bisa belajar banyak keberagaman juga.

Bercerita teman saya yang juga memiliki perbedaan identitas, mari berlanjut ke tingkat SMA. Teman-teman SMA pun juga sama, kami lebih beragam lagi. Ada yang batak, jawa, sunda, sunda-jawa, dan saya sendiri kalimantan. Sebetulnya, karena keberagaman itulah yang membuat kita menyatu. Walau berbeda, sejatinya diri kita ini unik. Ngga jadi hambatan latar belakang berbeda. Dalam pertemanan ini, toleransi sebetulnya sesimpel pas kita mau pergi main, ya kita menghargai kalo ada teman saya ada yang mau pergi ibadah ketika weekend seperti pergi ke Gereja. Atau ketika teman saya yang menghargai ketika saya harus beribadah 5 kali sehari. Sesimpel ketika bulan puasa, teman saya merasa tidak enak kalau makan di depan orang yang berpuasa. Seringkali mereka bilang ‘hargain yang puasa’, ya padahal sebetulnya gak papa juga kok makan depan kami, tapi menurutku mereka sangat menghargai. Kemudian, ada pula pandangan yang melekat tentang orang Jawa yang melakukan sesuatu lama, sebetulnya ya ngga juga sih. Menepiskan stereotype tersebut, teman saya ngga seperti yang kebanyakan orang pikir. Dia orangnya teliti dan juga sangat rapih. Cerita lain dari SMA yaitu SMA saya termasuk yang terkenal karena ‘Islami’-nya dikarenakan organisasi Kerohanian Islam (rohis) sangatlah kuat. Selain itu juga banyak acara-acara dari kerohanian yang diadakan khusus untuk siswa-siswi di sekolah. Tapi jangan salah, dibalik kekentalannya dengan suasana islami, sekolah saya juga kerohanian Kristen (rohkris) juga kuat. Saya punya sahabat juga yang sama-sama mentor di kelompok kecil kerohanian, dia di rohkris dan saya di rohis. Tapi itu tidak menjadi sebuah hambatan kami berteman. Malah kami suka saling bertukar cerita.

Kemudian dari SMA berlanjut ke perkuliahan. Disinilah saya makin merasa lebih sangat beragam lagi. Dari sabang sampai merauke, kampus saya pasti ada saja mahasiswa yang menjadi perwakilan setiap daerahnya karena itu UI bisa disebut kecilnya Indonesia. Senang bisa belajar disini. Pertama kali saya menjadi mahasiswa baru, saya berkenalan dengan teman-teman yang beragam di FISIP. Ada yang dari Medan, Lampung, Bengkulu, Lombok. Walaupun ini adalah pertama kali berkenalan dengan orang dari Lombok dan asal daerah kita berbeda, justru itu yang tidak dikhawatirkan, saya jadi lebih isitilahnya ‘kepo’ karena kita berbeda. Seiring saya mengobrol dengan dia, ternyata kami nyambung-nyambung aja kok bercerita bersama! Menurutku, keberagaman inilah yang membuat kita indah sebagai kesatuan dari mahasiswa di UI. Yang paling lucu yaitu ketika temanku yang dari luar daerah itu sama-sama ngobrol pakai bahasanya mereka. Aku yang ngga ngerti jadi kebingungan sebetulnya. Tapi justru saya merasa inilah yang harus dihargai dan dibanggakan. We are so diverse but that's so cool!

Perkuliahan bukan hanya cerita saya mendapat teman dari berbagai daerah, tapi beragam keyakinan juga semakin tinggi. Orang-orang yang belum pernah saya temui seperti agama hindu, budha, konghucu, dan bahkan tidak memiliki kepercayaan pun saya temui. Benar-benar definisi beragam yang sejujurnya bikin saya kaget. Tapi ini membuat saya sadar, “wah ternyata tidak Indonesia itu benar-benar beragam luar biasa. Saya pun juga menemui teman-teman saya yang memiliki orientasi seksual yang tidak sama dengan orang kebanyakan. Walau saya punya teman-teman yang beragam, saya semakin mengerti bahwa toleransi itu penting. Apa pun keyakinan yang orang-orang anut, kita harus bisa menghargai mereka. Dan hal tersebut justru bukan menjadi sebuah perdebatan yang harus kita ikut campuri. Teman-teman yang juga harus beradaptasi, mereka biasanya mencoba memahami bagaimana keadaan yang ada di lingkungan kampus sebelum akhirnya mereka bisa memahami atau menghargai bagaimana perbedaan yang mereka alami.
Di samping perkuliahan, saya juga pernah ikut kegiatan di Chesire. Tempat sebuah yayasan untuk disabilitas khususnya tuna daksa di Indonesia untuk mengembangkan potensinya sehingga dapat hidup mandiri dan mampu berkarya dalam komunitas. Di sana saya berkenalan dengan Tian, seorang pianis yang tunanetra. Dia bahkan sudah mengadakan konsernya sendiri untuk tampil memainkan piano. Dan itu keren banget ya serius! Awalnya saya kenal dari kakak saya yang sempat menjadi pembicara di salah satu sekolah tentang bagaimana mengekspresikan diri. Di sini, saya bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Termasuk Tian. Dari dia, saya belajar kekurangan bukan berarti menjadi sebuah perbedaan dan hambatan untuk berprestasi. Ketekunan dan kegigihannya membuat saya belajar banyak akan tidak mudahnya pantang menyerah dalam melakukan apa yang dia sukai. Kami juga sebetulnya berbeda keyakinan, tapi bukan berarti kita tidak berteman.

Cerita berlanjut dari teman ke keluarga ya. Sebetulnya ini bukan cerita tentang keluarga inti, lebih tepatnya Bude Wiwi, saudara perempuan (kakak) dari Bunda, yang menikah dengan suaminya berasal dari Australia. Yap, Namanya Pakde Peter. Sudah dari dulu Bude Wiwi ikut tinggal di Australia bersama dengan Pakde Peter dan ketiga anaknya, Kak John, Kak Dave, dan Kak Wendy. Mereka sesekali datang ke Indonesia, biasanya ketika lebaran tiba dan juga ya memang ingin datang saja kesini. Dulu, sewaktu kecil (ya namanya masih kecil) saya norak banget karena punya saudara dari luar negeri alias ‘bule’. Perbedaan budaya dan tantangan antara Bude dan Pakde tentunya pasti ada. Bude yang tentunya asli orang Indonesia dan Pakde yang secara total ngomongnya pakai bahasa inggris. Ia juga sempat bercerita bagaimana harus mengajarkan Pakde untuk beribadah sesuai keyakinan. Waktu kecil sekitar umur 6 tahun, saya diminta oleh Pakde mengantar Pakde saya pergi ke supermarket. Pakde saya kebingungan: “bagaimana bisa anak kecil mengantarkan saya, apalagi untuk membeli beer.” Hingga saat ini, saya juga ikut kebingungan ternyata dulu saya seberani itu ya. Pakde sempat cerita semenjak tidak ada Bude Wiwi, ia tidak ada yang mengajarkan lagi bahasa Indonesia, jadi ia kadang sedikit-sedikit lupa.

Sekian cerita ini sudah sampai di paragraf terakhir. Dari semua yang saya ceritakan, mari kita jadikan sebuah pelajaran dan pengalaman dalam hidup sesungguhnya sangat penting. Yang pertama, penanaman nilai toleransi seharusnya dilakukan sejak sedari kecil yaitu melalui keluarga. Terutama orang tua yang mengajarkan kepada anaknya mengenai keberagaman yang multicultural di lingkungan tempat kita tinggal. Saya belajar bahwa keluarga saya mengajarkan walau tiap orang itu beda, kita harus tetap menghargai sesama, menghormati, tidak membeda-bedakan karena kita semua setara dan tidak dapat terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Kemudian, instansi pendidikan juga mengambil peran penting. Di sekolah ketika guru mengajarkan materi-materi toleransi sebaiknya bukan hanya dijelaskan saja, tapi mungkin bisa dipraktikkan secara langsung. Mungkin bisa dalam bentuk roleplay antar siswa memerankan peran yang beragam. Kemudian dalam era internet, mungkin peran pemerintah bisa membuat suatu kampanye yang berhubungan dengan isu toleransi dan keberagaman di Indonesia. Melihat banyaknya isu intoleransi yang merebak akhir-akhir ini. Sehingga, mungkin bisa dikaji lebih lanjut untuk bisa memberi informasi kepada masyarakat pentingnya kesadaran dalam hidup bermultikultural.

Review Film The Way Home (2002) dan kaitannya dengan Komunikasi Global

The Way Home film.jpg
(Foto: Wikipedia)
The Way Home adalah film buatan Korea Selatan. Film ini menceritakan seorang anak laki-laki bernama Sangwoo yang dititipkan sementara oleh Ibunya kepada neneknya di sebuah pedesaan. Hal ini dikarenakan Ibunya harus bekerja mencari uang karena hutang yang ia miliki. Neneknnya sudah sangat tua dan bisu sedangkan Sangwoo adalah anak yang kurang sopan dan tidak peduli. Pada awal ia dititipkan di rumah nenek, ia tidak peduli apapun yang neneknya lakukan. Bahkan, ia tidak mau makan buatan neneknya tapi hanya memakan persediaan makanan kaleng yang ia bawa. Ia juga terus bermain gamebot, meminum coca-cola, bermain cubix (robot buatan Korea Selatan, asalnya dari film animasi). Hingga akhirnya baterai gamebotnya habis dan ia bernekat mengambil jepit rambut neneknya untuk dijual membeli baterai. Ia juga sempat meminta pizza, hamburger, dan ayam Kentucky kepada neneknya. Namun, sang nenek hanya dapat membuatkan ayam rebus biasa yang bahkan untuk mendapatkan ayam tersebut, nenek harus pergi jualan ke pasar yang tempatnya sangat jauh.
Hingga suatu hari Sangwoo ikut ke pasar bersama nenek, dan ia melihat nenek berjualan di pasar. Sangwoo dibelikan neneknya sepatu bahkan makan siang dari hasil jualan yang neneknya. Neneknya juga membelikan Choco Pie (iya makanan yang sekarang sudah masuk ke Indonesia) untuk Sangwoo. Karena membelikan makan siang dan beli sepatu, neneknya harus rela berjalan dari pasar tanpa naik bus untuk pulang ke rumah, sedangkan Sangwoo naik bus sendiri. Sangwoo yang menunggu sangat cemas karena neneknya lama sekali pulang ke rumah. Lama kelamaan Sangwoo menjadi penurut, mulai dari membantu neneknya memasukkan benang ke jarum, hingga membawakan tas neneknya. Ketika neneknya sakit, Sangwoo juga sigap menyelimuti dan menyiapkan makan untuk neneknya. Hingga akhirnya suatu ketika sebuah surat datang, Sangwoo mengajarkan neneknya menulis untuk mengirimkan surat apabila ia sakit dan merindukan Sangwoo. Dan Sangwoo berjanji akan datang jika neneknya mengirimkan suratnya. Namun neneknya sangat sulit menulis. Akhirnya Sangwoo menggambarkan wajah neneknya menggunakan kerayon di sebuah kartu ucapan dari Cubix dengan tulisan ‘aku merindukanmu’ dan ‘aku sakit’. Kartu ucapan itu ia berikan sebelum ia pergi dijemput oleh ibunya dan kemudian pergi naik bus untuk kembali ke Seoul.
~
Jika dikaitkan dengan mata kuliah Komunikasi Global ada beberapa media yang secara tidak langsung menunjukkan sebuah perilaku komunikasi global. Yaitu ketika Sangwoo meminum Coca-cola dan menunjukkan brosur makanan Pizza, Hamburger, dan Kentucky. Minuman dan makanan tersebut seperti kita ketahui adalah produk-produk dari perusahaan global dari barat yang berhasil masuk ke negara Korea Selatan (Asia). Mereka mencoba masuk ke dalam film ini dan menggambarkna bahwa kedua hal tersebut adalah hal yang keren (Sangwoo maunya minum itu saja, dan hanya mau makanan tersebut, bahkan memaksa neneknya hingga neneknya harus membeli ayam ke pasar). Kemudian, contoh lainnya yang termasuk konsep di komunikasi global adalah terkait produk Korea Selatan yang ditonjolkan di film tersebut yaitu Cubix yaitu sebuah robot mainan dari film animasi buatan Korea Selatan. Cubix sendiri adalah produk global yang bahkan sudah disiarkan di Cartoon Network UK. Robot ini berkali-kali ditampilkan di film ini , menurut saya ini memang sengaja ditampilkan karena pada saat itu film animasi juga baru muncul di tahun 2001 dan banyak orang yang menontonnya. Kemudian, di film ini juga dimunculkan makanan yang klaim namanya sudah dimiliki oleh salah satu perusahaan Korsel yaitu makanan Choco Pie, yang bisa dibilang sudah ada dari tahun 90an, dan Choco Pie sendiri bahkan penjualannya sekarang sudah berhasil masuk ke berbagai negara termasuk ke Indonesia.
---
Setelah saya menonton ini, saya baru engeh, ternyata bocah yang main itu adalah abang ganteng Yoo Seungho. Pantas saja sepertinya saya kenal. Selamat menangis dan menikmati film bergenre Family!
Related image
(Aminoapps)
x
Lilypie Kids Birthday tickers
Diberdayakan oleh Blogger.
 

Fathania Nazmi Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review