Media seperti televisi dan radio menggunakan frekuensi radio dengan gelombang elektromagnetik. Sama dengan bentuk sumber daya alam lainnya, frekuensi tersebut adalah milik bersama atau milik publik. Para pemilik media hanya istilahnya hanya diperbolehkan meminjam untuk dikelola dengan tujuan kepentingan publik. Akan tetapi berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, mereka yang memiliki media malah memanfaatkannya sebagai sebuah bisnis media yang bahkan mengikut campuri urusan politik dan ekonomi hanya untuk kepentingannya semata. Media merupakan sebuah alat yang bisa menciptakan sebuah opini publik. Frekuensi milik publik yang seharusnya sebagai wadah untuk kontrol sosial bagi masyarakatnya terhadap pemerintah, hanya dikuasai oleh segelintir kelompok. Hal ini disebut dengan konglomerasi media, yaitu ketika beberapa media hanya dikuasai oleh segelintir kelompok. Tak bisa dimungkiri bahwa campur tangan para pemilik media memengaruhi konten yang ada di televisi maupun media yang bersangkutan.
Penyiaran terestrial menggunakan frekuensi publik sebagai sumber daya alam terbatas yang seharusnya wajib diatur dengan ketat oleh negara. Semenjak adanya liberisasi media pasca reformasi, yaitu ketika semua pihak bisa membuat media sendiri. Yang kemudian terdapat UU Pers No. 40/1999 dimana hal ini membebaskan siapapun untuk berhak membuat perusahaan media untuk melakukan bisnis media sehingga muncul pula konglomerasi media.. Kemudian, banyak muncul perusahaan pers dengan harapan bisa tetap menjaga adanya demokrasi. Yang paling penting, munculnya perusahaan media ini tentu seharusnya juga bisa menjamin publik untuk dapat informasi yang seharusnya, namun pula ada juga yang dinamakan hak untuk berbisnis dalam wilayah media. Namun yang terjadi adalah liberisasi media yang tadinya untuk demokrasi malah disalahgunakan untuk mencari keuntungan pemilik media semata.
Konglomerasi media menjadi suatu permasalahan karena terdapat peraturan yang dilanggar yaitu UU Penyiaran No. 32/2002. Sebenarnya, UU tersebut dijelaskan mengenai pembatasan kepemilikan kepemilikan lembaga penyiaran swasta untuk mendorong keberagaman isi dan identitas lokal berbagai daerah di Indonesia (Pasa 18 ayat 1). Dan sebenarnya, UU penyiaran tidak membolehkan adanya kepemilikan tunggal atas dua stasiun penyiaran swasta di satu provinsi. Akan tetapi karena adanya kepentingan ekonomi atau mungkin bahkan politik, hal ini tetap dilanggar oleh para pemilik media.
Hal lain yang menjadi suatu masalahnya adalah para pemilik media malah menjadi ancaman demokrasi dan kebebasan pers. Karena adanya satu kepemilikan terhadap beberapa media, maka informasi yang disebarkan bersifat homogenistas, tidak heteregonitas. Padahal tugas media yaitu dapat menyajikan informasi yang beragam dan yang paling penting menyajikan informasi yang penting bagi publik.
Untuk kebebasan pers sendiri, lagi-lagi karena permasalahan politik dan ekonomi, pemilik media berusaha untuk mengatur isi dan konten mengenai berita yang ingin disampaikan. Bertemunya para politikus dengan pemilik media bisa memberikan dampak kepada kualitas konten tersebut dan bahayanya sebagai media yang memberikan informasi kepada publik, hal tersebut bisa menciptakan sebuah opini publik. Sehingga kita tidak bisa digambarkan sebagai jurnalis yang dibilang berada pada sikap netral. Hal tersebut menjadi sebuah permasalahan dan tantangan dikarenakan adanya pengaruh dari pihak-pihak yang berkuasa atas media tersebut. Para pemilik media bukan hanya menjadi pemimpin sebuah media, namun juga mereka mengatur isi dan konten dari media yang mereka miliki. Mereka memiliki kekuasaan dalam hal mengendalikan konten media sesuai dengan kepentingan yang mereka inginkan. Dalam hal ini, pemilik media mengatur bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri, namun mereka juga mementingkan dampak maupun kerugian tentang berita yang disebarluaskan kepada publik. Pemilik media tersebut biasanya mengatur konten dalam permasalahan politik dan ekonomi. Mereka biasanya mengatur untuk meraih keuntungan terhadap kepentingan mereka. Terdapat contoh kasus dimana pemilik media mengatur konten yang ada atau suatu berita. Salah satunya ada dalam media massa televisi yaitu ketika beberapa tahun lalu terdapat kasus pemberitaan mengenai lumpur lapindo yang melibatkan salah satu pemilik media televisi yaitu Abu Rizal Bakrie. Dalam kasus ini, beliau sebagai pemilik media TV ONE dan AN TV mengendalikan berita bahwa kasus lapindo ini sudah teratasi dan sudah diganti rugi, sedangkan media televisi lainnya memberitakan yang sesungguhnya bahwa masih banyak warga lapindo yang belum diganti kerugiannya. Kemudian, kasus lainnya juga terjadi ketika pemilihan presiden 2014 lalu, dimana hasil quick count Metro TV dimenangkan oleh Jokowi, sedangkan TV ONE dimenangkan oleh Prabowo. Ketika dilihat kedalamnya, hal ini di karenakan pemilik TV ONE Abu Rizal Bakrie yang berasal dari partai Golkar bersatu dengan partai Gerindra adalah para pendukung suara Prabowo, sedangkan Surya Paloh dari Metro TV memang mendukung Jokowi untuk memenangkan suara. Dari kasus ini, dapat kita dilihat bahwa peran dari pemilik media dan ideologi yang dianut oleh si pemilik menguasai bagaimana isi dari konten media tersebut, terlepas dari seharusnya bagaimana isi konten tersebut adalah berita berdasarkan fakta yang ada.
Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap sebagai publik atau penonton dalam menghadapi tuntutan dari pemilik media? Untuk seorang jurnalis sendiri harus tetap berpegang teguh bahwa sebagai seorang wartawan harus memberitakan berita yang akurat dan berdasarkan fakta yang ada di lapangan kepada publik. Hal ini juga terkait dengan kode etik jurnalistik yang mengatakan bahwa sebagai wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong. Dan di berbagai negara pun juga menyatakan hal demikian. Selalu memverifikasi dan mempertanyakan tentang berita yang kita dapatkan, apakah sudah benar atau belum. Dalam kode etik juga dijelaskan bahwa wartawan haruslah bersikap independen dan berimbang. Independen maksudnya adalah dalam menginformasikan suatu berita, hendaklah tidak memihak terhadap suatu hal tertentu. Mereka tidak boleh memberikan berita yang diinginkan sesuai dengan pandangan politiknya, agamanya, ataupun pandangan yang dianggap sesuai dengan kepentingannya. Kemudian, berimbang adalah ketika kita sebagai jurnalis memberikan kesempatan bagi berbagai pihak dalam menyampaikan pandangannya agar berita yang disampaikan bukan dari pihak-pihak tertentu saja. Hal ini terkait bagaimana peran jurnalis yang harus tetap berada dalam pihak yang netral, tidak mengikuti bagaimana kepentingan pihak tertentu saja. Kemudian, pentingnya peran pemerintah juga bisa dilibatkan. Dalam hal ini mengenai penegakan peraturan mengenai kepemilikan media atau UU Penyiaran, sehingga media ini bukan menjadi sebuah bisnis yang terus menerus berkembang dan memanfaatkan hak milik publik. Karena frekuensi adalah milik publik.
x